Mengapa penyedia layanan kesehatan Asia harus fokus pada pelatihan digital untuk tenaga kerja | Healthcare Asia Magazine
, APAC
371 view s
Dr. Ann Aerts

Mengapa penyedia layanan kesehatan Asia harus fokus pada pelatihan digital untuk tenaga kerja

Seorang pakar kesehatan digital menyoroti e-training Singapura untuk petugas kesehatan sebagai contoh terbaik.

Ketika dalam dua tahun belakangan terjadi disrupsi di bidang layanan kesehatan virtual akibat adanya pembatasan, penyedia layanan kesehatan Asia tidak mengambil langkah mundur dalam meningkatkan inovasi medis mereka dengan menerapkan model perawatan kesehatan hybrid. Laporan McKinsey 2021 menunjukkan bahwa kesehatan digital di Asia dapat menghasilkan nilai hingga $100 miliar dalam tiga tahun ke depan, naik $37 miliar dari tahun 2020.

Namun bagi perusahaan non-profit, Novartis Foundation, teknologi saja tidak cukup. Negara diharapkan menerapkan kebijakan yang jelas untuk memastikan adanya akses yang setara dan inklusif ke layanan virtual untuk pasien di seluruh populasi mereka.

Inilah yang ditangani oleh Dr. Ann Aerts, kepala Yayasan Novartis, dalam laporan bersama mereka di 2022 dengan World Health Organisation (WHO).

Studi tersebut menemukan bahwa setiap negara di Asia Pasifik perlu meningkatkan kesiapannya dalam menerapkan perawatan digital melalui kerangka kebijakan inklusif yang terdiri dari enam pilar utama. Pilar-pilar tersebut meliputi tata kelola dan regulasi, desain dan proses, data dan teknologi, model bisnis, masyarakat dan tenaga kerja, serta mitra dan pemangku kepentingan.

“Enam pilar ini. Mulai dari tata kelola, di mana ini berbicara tentang kewajiban lisensi, hingga data dan infrastruktur yang sudah sangat baik di Singapura, untuk masyarakat dan tenaga kerja,” kata Aerts dalam wawancara dengan Healthcare Asia.

Meski keenam pilar ini sama-sama dibutuhkan, Aerts mengatakan banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan keterampilan digital tenaga kerja di Asia.

Laporan McKinsey juga menunjukkan bahwa rata-rata jumlah dokter per 1.000 orang di wilayah tersebut lebih rendah dari rata-rata OECD. WHO juga menemukan bahwa secara global ada kekurangan sembilan juta perawat, dengan beberapa negara di Asia yang paling terkena dampaknya.

“Asia telah mengadopsi kesehatan dan perawatan virtual, dengan sangat cepat dan luas, jadi saya merasa bahwa salah satu pilar terpenting adalah keterampilan digital masyarakat dan tenaga kerja,” katanya.

Dia mencatat ketentuan e-training dan telehealth Singapura untuk profesional perawatan kesehatan sebagai salah satu contoh terbaik untuk meningkatkan keterampilan  tenaga kesehatan.

“Memang benar tidak semua profesional kesehatan adalah seorang yang digital savvy. Perlu dipastikan bahwa orang-orang dari semua kelompok populasi memiliki akses ke layanan virtual. Saya dapat membayangkan di Asia, misalnya populasi yang menua dengan cepat mungkin menjadi salah satu kelompok khusus yang ditargetkan untuk ditingkatkan keterampilan digitalnya,” kata Aerts.

Pada 2020, Kementerian Kesehatan (MOH) menawarkan kursus telemedicine untuk memandu dokter dalam memberikan layanan telehealth, yang akan memprioritaskan keselamatan pasien.

Siapa yang harus bertanggung jawab

Layanan telemedicine di Asia Pasifik telah meningkat untuk memberikan layanan kesehatan jarak jauh kepada pasien. Studi Bain & Company menunjukkan bahwa penggunaan telehealth di kawasan Asia Pasifik meningkat dua kali lipat sejak 2019.

Aerts mengatakan bahwa upaya mengidentifikasi tanggung jawab profesional kesehatan jika terjadi kesalahan diagnosis atau kerusakan perangkat masih belum jelas di seluruh dunia.

Untuk mengatasinya, Aerts mengatakan harus ada sistem tata kelola untuk memastikan jaminan kualitas bagi profesional kesehatan yang menyediakan layanan virtual.

Misalnya, Jerman menerapkan pedoman tentang layanan telehealth yang menjadi tanggung jawab dokter.

Dalam laporan Novartis-WHO, Jerman menerapkan Digital Healthcare Act 2019 dan Digital Health Application Ordinance 2020 untuk menentukan tanggung jawab atas informasi yang salah atau tidak lengkap atau bahkan malfungsi.

Di antara ketentuan penting dalam kebijakan Jerman adalah dokter akan "jarang disalahkan" jika mereka tidak tahu atau tidak memiliki pengetahuan tentang risiko yang dimaksud jika terjadi kesalahan atau kerusakan yang tidak terduga pada aplikasi.

Kebijakan di Jerman juga menunjukkan bahwa produsen mungkin bertanggung jawab atas kemungkinan pelanggaran kewajiban dalam menerbitkan instruksi yang memadai saat pasien menggunakan aplikasi secara tidak benar.

“Sangat penting untuk mengklarifikasi pertanyaan soal pertanggungjawaban ini, standar apa yang harus diterapkan oleh layanan telehealth? Kapan dokter bertanggung jawab atas kegagalan,perlakuan buruk atau kesalahan diagnosis,” kata Aerts.

Membantu masyarakat berpenghasilan rendah

Ketika ditanya tentang pasar mana di Asia yang menerapkan kebijakan yang baik untuk mengadopsi perawatan virtual, Aerts memberi contoh  inovasi perawatan kesehatan di Cina, seperti Ping An Good Health.

Aplikasi Telekonsultasi, Ping An Good Health, yang sebelumnya adalah Ping An Good Doctor, melakukan 900 juta konsultasi setiap hari di lebih dari 300 kota di Cina. Pengguna platform itu pun naik 70% antara kuartal pertama 2020 dan 2021.

“Semuanya dilakukan secara online, di semua konsultasi, apakah itu di internet hospital, pusat kesehatan internet, atau internet pharmacy, diana pasien mendapatkan perawatan yang dapat diantarkan ke rumah,” kata Aerts.

“Saya pikir contoh-contoh ini adalah sesuatu yang harus kita lihat dan pelajari karena menjangkau seluruh populasi yang memungkinkan akses ke dokter, di mana pun dan kapan pun pasien membutuhkannya,” kata dia menambahkan.

Selain Cina, laporan tersebut mengutip My Healthline India, saluran bantuan respons suara interaktif, yang menawarkan layanan kesehatan mental dan umum ke sektor-sektor yang terpinggirkan.

Pemindaian AI terkini meningkatkan diagnosa di Shin Kong Wu Ho-Su Memorial Hospital

Rumah sakit di Taiwan ini menggunakan teknologi endoskop yang dibantu AI untuk mendeteksi polip dan kamera resolusi tinggi untuk telemedis.

KFSHRC Saudi bertumpu pada inovasi untuk mentransformasi layanan kesehatan

Rumah sakit ini mempercepat adopsi teknologi baru untuk memposisikan dirinya sebagai pemimpin global di bidang kedokteran.

Angkor Hospital merencanakan pusat trauma untuk anak-anak

Fasilitas ini akan memiliki ICU, ruang gawat darurat, ruang operasi, dan bangsal bedah.

Bali International Hospital dan HK Asia Medical mendirikan pusat jantung baru

Fasilitas ini akan menawarkan diagnostik, operasi invasif minimal, dan perawatan pasca operasi.

Pasar pencitraan medis Indonesia diproyeksikan tumbuh 6,12% CAGR hingga 2030

Salah satu pendorong utama adalah peningkatan inisiatif yang dipimpin pemerintah.

Rumah Sakit Pusat Kamboja beralih ke adopsi teknologi untuk meningkatkan layanan jantung

Salah satu teknologi kunci mereka adalah mesin ECMO untuk mendukung hidup yang berkepanjangan dalam kondisi kritis.

Ekspor farmasi Indonesia diperkirakan tumbuh 7,7% CAGR hingga 2028

Berkat upaya pemerintah dan aturan investasi baru untuk meningkatkan produksi domestik.

Jepang dan Indonesia tandatangani MoU untuk pelatihan perawat dan pekerja perawatan

Kemitraan ini bertujuan membimbing tenaga kesehatan Indonesia agar memenuhi standar tenaga kerja profesional Jepang.

Pusat gigi nasional Singapura berada di garda terdepan layanan gigi digital

Teknologi pemindaian intraoralnya menggantikan metode pencetakan gigi tradisional.

Inovasi medis global dan solusi berbasis AI menjadi sorotan

Medical Taiwan 2024 menghadirkan 280 peserta dari 10 negara dan mendorong integrasi teknologi dalam layanan kesehatan.