Indonesia hadapi kesenjangan dalam evakuasi medis udara | Healthcare Asia Magazine
, Indonesia
3544 views
CEO Flying Doctor Indonesia, Vika Cokronegoro

Indonesia hadapi kesenjangan dalam evakuasi medis udara

Flying Doctor Indonesia hanya mampu melayani kurang dari 12% dari sekitar 600 permintaan evakuasi tiap tahunnya.

Permintaan evakuasi medis udara di Indonesia terus melampaui kapasitas yang tersedia, membuat banyak pasien harus menunggu transfer darurat.

Flying Doctor Indonesia, yang dioperasikan PT Air Ambulance Indonesia, hanya mencatat 50–70 penerbangan evakuasi per tahun, sementara jumlah permintaan mencapai 600. CEO Vika Cokronegoro mengatakan keterbatasan armada pesawat masih menjadi hambatan terbesar.

“Permintaan terus meningkat dari tahun ke tahun, tetapi kendalanya ada pada jumlah pesawat yang terbatas,” ujarnya kepada Healthcare Asia. “Ketika pesawat masuk perawatan atau kru sudah mencapai batas jam terbang, pasien pasti harus menunggu.”

Rumah sakit spesialis terkonsentrasi di kota besar, sehingga pasien di daerah terpencil bergantung pada transfer udara. Indonesia juga belum memiliki pusat komando medis nasional, yang membuat akses data medis cepat menjadi sulit.

“Mempersiapkan ambulans udara berbeda dengan rumah sakit yang bisa langsung merespons dengan ‘code blue’,” kata Vika. “Semuanya harus disiapkan dari awal—ventilator, pompa infus, perangkat monitoring—kalau tidak, risikonya sangat tinggi.”

Ambulans di daerah pedesaan sering kali hanya membawa peralatan dasar, sehingga memperlambat transfer ke bandara. Perjalanan dari desa bisa memakan waktu hingga empat jam, sementara bandara kecil yang tutup pada malam hari menyebabkan keterlambatan lebih lanjut.

Setiap misi dimulai dengan penilaian apakah pasien bisa terbang secara komersial atau memerlukan ambulans udara khusus. Tim operasi kemudian mengurus izin, menyiapkan dokumen, dan memastikan rumah sakit rujukan siap menerima pasien.

“Surat penerimaan dari rumah sakit sangat penting,” ujar Vika. “Kami tidak bisa tiba di rumah sakit lalu mendapati mereka belum siap menerima pasien. Itu bisa sangat berbahaya.”

Flying Doctor Indonesia dapat menangani dua hingga tiga penerbangan per hari jika pesawat tersedia, meski banyak permintaan tidak terlayani karena biaya, kondisi pasien yang memburuk, atau keterbatasan armada.

Salah satu kasus menonjol adalah bayi berusia sembilan bulan yang diterbangkan ke India untuk transplantasi hati. “Keluarga hanya bisa mengumpulkan US$12.000 (Rp200 juta), sementara di Indonesia biayanya bisa mencapai US$72.000 (Rp1,2 miliar). Dengan dukungan rumah sakit mitra di India dan yayasan donor, bayi itu akhirnya bisa menjalani operasi,” kata Vika.

Wisatawan dan perusahaan juga menjadi klien tetap. Evakuasi darurat di Gunung Rinjani telah menyelamatkan nyawa, sementara perusahaan tambang dan minyak menggunakan layanan ini karena lokasi mereka jauh dari rumah sakit.

Untuk menjaga keselamatan, Flying Doctor Indonesia melengkapi pesawat dengan ICU portabel, ventilator, dan perangkat monitoring. Konsultasi gratis juga diberikan untuk membantu pasien memilih rumah sakit dan dokter yang tepat.

Integrasi telemedisin juga direncanakan untuk mempercepat triase dan rujukan.

“Target kami adalah memperluas jaringan, meningkatkan kompetensi tim medis, dan membangun sistem koordinasi digital yang lebih cepat,” kata Vika. “Indonesia sangat luas, dan tanpa sistem darurat kesehatan nasional, akses akan tetap terbatas.”

Jalur baru bagi dokter di Hong Kong berpotensi dorong inovasi

Hal ini juga berpotensi semakin membebani sumber daya dalam jangka pendek.

APAC muncul sebagai pemain kunci di pasar global perangkat neurologi

India dan Tiongkok tengah mengalami pertumbuhan pesat dalam bidang teknologi medis.

Ciputra Mitra Hospital percepat penanganan jantung dan stroke

Begitu pasien tiba, kode jantung atau stroke langsung diaktifkan.

Singapura tingkatkan pemanfaatan AI untuk perawatan paru-paru

Health Sciences Authority telah memberikan persetujuan pra-pasar untuk LungVision.

Indonesia hadapi kesenjangan dalam evakuasi medis udara

Flying Doctor Indonesia hanya mampu melayani kurang dari 12% dari sekitar 600 permintaan evakuasi tiap tahunnya.

India didorong tingkatkan belanja kesehatan untuk menopang pertumbuhan sektor tersebut

Sebagian besar pengeluaran masih ditopang sektor swasta dan biaya pribadi pasien.

EMC Healthcare dan InterSystems akan meluncurkan sistem rekam medis elektronik canggih di Indonesia

Sistem ini dilengkapi dengan dokumentasi otomatis dan kode berbasis AI.

Rumah sakit swasta di Filipina diminta berhati-hati akan pengeluaran

Klaim layanan kesehatan di negara ini diperkirakan meningkat 21% tahun ini.

KTPH melacak pasien dan peralatan secara real-time

Rumah sakit milik negara Singapura ini juga berencana menggunakan gelang RFID pasif untuk melacak lokasi pasien.