
India didorong tingkatkan belanja kesehatan untuk menopang pertumbuhan sektor tersebut
Sebagian besar pengeluaran masih ditopang sektor swasta dan biaya pribadi pasien.
India perlu meningkatkan belanja kesehatan publik untuk mengikuti laju pesat ekspansi sektor medisnya, yang diproyeksikan mencapai US$638 miliar pada 2025.
Tanpa investasi memadai pada tenaga kerja, sistem, dan akses, pertumbuhan sektor ini bisa terhambat, kata para analis.
“Saat ini India hanya mengalokasikan 1,9% dari PDB (produk domestik bruto) untuk kesehatan,” ujar Vivek Desai, pendiri sekaligus managing director HOSMAC India Pvt Ltd., kepada Healthcare Asia. “Sebagian besar pengeluaran justru ditopang sektor swasta, biaya pribadi pasien, dan asuransi swasta.”
Sebaliknya, Jepang, AS, dan banyak negara Eropa mengalokasikan lebih dari 10%, lanjutnya lewat Zoom.
Pasar kesehatan India diperkirakan menyentuh US$638 miliar tahun ini setelah tumbuh rata-rata 18% per tahun dalam 16 tahun terakhir hingga mencapai US$400 miliar pada 2024, menurut laporan Way2Wealth Brokers Pvt. Ltd.
Pemerintah menganggarkan sekitar US$11,4 miliar (₹99.859 crore) untuk sektor kesehatan periode 2025–2026, naik 11% dari tahun sebelumnya, dengan fokus pada infrastruktur kritis. Sekitar US$582 juta (₹5.109 crore) dialokasikan untuk Ayushman Bharat Health Infrastructure Mission, yang menargetkan tambahan 30.000 tempat tidur perawatan kritis dan 200 pusat rawat jalan kanker.
Ada pula kemitraan publik-swasta, seperti rencana pemerintah Delhi membangun sekitar 1.000 pusat kesehatan dan kebugaran perkotaan, kata Priyanka Aggarwal, pemimpin praktik kesehatan India dan Asia Tenggara di Boston Consulting Group.
Namun, infrastruktur saja tidak cukup. “Keberhasilan anggaran bergantung pada eksekusi tepat waktu dan penguatan berkelanjutan layanan primer serta surveilans penyakit,” ujarnya dalam wawancara Zoom terpisah.
Desai menekankan pentingnya investasi langsung di layanan kesehatan pedesaan, area yang masih enggan digarap swasta karena tantangan tenaga kerja. “Fokus kita masih banyak di kota tier dua dan tiga. Padahal dokter perlu bersedia bekerja di wilayah pedesaan.”
Aggarwal menambahkan pendanaan untuk National Health Mission stagnan, sementara banyak pusat kesehatan masyarakat kekurangan staf. “Dana berbasis kinerja dan peningkatan anggaran untuk layanan primer di pedesaan bisa menjadi fondasi bagi hasil kesehatan jangka panjang yang lebih baik,” katanya.
Desai menyebut model tenaga kerja hibrida dapat menjembatani kesenjangan di pedesaan, mencontoh sistem barefoot doctor di Tiongkok. “India sebenarnya punya program serupa pada 1950–1960-an, tapi akhirnya dihentikan.”
Meski jumlah fakultas kedokteran di India telah berlipat ganda dalam satu dekade terakhir hingga lebih dari 650, negara ini masih menghadapi kekurangan spesialis, termasuk radiolog dan dokter anak, lanjut Desai. “Pemerintah kini mencari cara mengatasi hal ini, termasuk memberi izin rumah sakit swasta untuk melatih mahasiswa.”
Aggarwal menyoroti keterlambatan pembayaran klaim dalam skema seperti Ayushman Bharat PM-Jay sebagai kendala besar lainnya.
“Beberapa rumah sakit swasta bahkan keluar dari skema ini karena masalah tersebut,” ujarnya. “Pemerintah harus memastikan pencairan klaim lebih cepat agar keterlibatan sektor swasta bisa berlanjut.”