
Rekam medis elektronik dengan AI semakin menjanjikan
Namun, teknologi ini juga berisiko terhadap serangan backdoor, posioning data, dan akses tidak sah.
Chatbot kini melampaui tenaga kesehatan manusia dalam menjawab pertanyaan pasien, menyederhanakan proses, dan mengurangi beban administratif.
Namun, menurut para ahli, rumah sakit harus menyeimbangkan penggunaan AI dengan risiko keamanan siber, mengingat sektor ini menjadi target utama serangan.
Menurut studi dari New York University Grossman School of Medicine yang dirilis pada Juli, respons genAI dan respons manusia terhadap pertanyaan pasien tidak menunjukkan perbedaan statistik dalam hal akurasi, kelengkapan, dan relevansi.
Studi tersebut juga mengungkapkan respons genAI lebih unggul dibanding penyedia layanan kesehatan manusia dalam hal keterbacaan dan tone bahasa sebesar 9,5%, lebih dari dua kali lipat (125%) lebih mungkin dianggap empatik, serta 62% lebih mungkin menggunakan bahasa yang menyampaikan kesan positif.
Fullerton Health Philippines di Bonifacio Global City (BGC) adalah salah satu penyedia layanan kesehatan yang mulai menggunakan chatbot melalui aplikasi LiveFuller untuk mengurangi beban kerja staf manusia.
“Aplikasi ini dapat memberikan gambaran kondisi kesehatan pasien dan melakukan analisis prediktif terhadap penyakit yang berpotensi muncul jika kebiasaan tidak diubah,” kata Carmie de Leon, head Electronic Health System diFullerton BGC, dalam wawancara Zoom dengan Healthcare Asia.
Menurutnya, klien bisa mendapatkan hasil diagnostik lebih cepat. “Bantuan terbesar adalah bagi staf yang tidak perlu lagi menginput banyak dokumen, sehingga mereka dapat lebih fokus memberikan layanan berkualitas.”
Reynalyn Tomada, director operations di Fullerton BGC, mencatat meskipun genAI telah berkembang pesat dalam layanan kesehatan, risikonya terhadap keamanan siber bisa menjadi penghambat.
Temus Pte Ltd., perusahaan penyedia layanan IT, teknologi, dan konsultasi untuk sektor publik dan swasta dalam mempercepat transformasi digital, menyatakan bahwa sistem kesehatan elektronik yang menggunakan genAI berisiko mengalami serangan backdoor, peracunan data, dan akses tidak sah.
“Risiko privasi kedua adalah potensi kebocoran informasi pribadi dari data rekam medis elektronik ke dalam LLM (large language models) selama proses pelatihan,” ujar Matt Johnson, managing director AI di Temus, dan Dickon Smart-Gill, data dan enterprise archictect for strategy melalui email.
LLM adalah jenis model machine learning yang dapat menghasilkan dan mengklasifikasikan teks, menjawab pertanyaan secara percakapan, serta menerjemahkan teks dari satu bahasa ke bahasa lain.
Geoffrey Coley, Chief Technology Officer Regional Asia-Pasifik di Veritas Technologies LLC, menekankan dengan meningkatnya kejahatan siber, “pasien semakin khawatir tentang privasi data, termasuk bagaimana rekam medis mereka dikelola.”
Dia mengutip Cost of Data Breach Report yang dirilis IBM pada Juli, yang menyebutkan bahwa sektor layanan kesehatan menjadi target utama serangan siber.
Biaya rata-rata pelanggaran data dalam layanan kesehatan turun 10,6% menjadi $9,77 juta dalam 12 bulan hingga Februari 2024. “Namun, penurunan itu belum cukup untuk menggeser sektor ini dari posisi industri dengan biaya pelanggaran data tertinggi—posisi yang telah dipegangnya sejak 2011,” menurut IBM.
Meski demikian, para analis tetap optimis terhadap potensi genAI dalam layanan kesehatan.
Johnson dan Smart-Gill mencatat dalam pengobatan, genAI dapat meningkatkan, bukan menggantikan, penilaian klinis dengan memberikan wawasan berbasis data agar dokter dapat mengambil keputusan yang lebih tepat. Dalam penelitian, genAI dapat merevolusi pemahaman manusia tentang kesehatan.
“Dengan menganalisis sejumlah besar data kesehatan anonim, para peneliti dapat mengidentifikasi pola dalam penyakit dan hasil pengobatan. Hal ini berpotensi menghasilkan hipotesis baru untuk penelitian dan mempercepat penemuan medis,” tambah mereka.